SEJARAH DAN FITNAH TASAWWUF
Orang-orang sufi pada periode-periode pertama menetapkan untuk
merujuk (kembali) kepada Al-Quran dan As-Sunnah, namun kemudian Iblis
memperdayai mereka karena ilmu mereka yang sedikit sekali.
Ibnul Jauzi (wafat 597H) yang terkenal dengan bukunya Talbis Iblis
menyebutkan contoh, Al-Junaid (tokoh sufi) berkata, “Madzhab kami
ini terikat dengan dasar, yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah.”
Dia (Al-Junaid) juga berkata, “Kami tidak mengambil tasawuf dari
perkataan orang ini dan itu, tetapi dari rasa lapar, meninggalkan
dunia, meninggalkan kebiasan sehari-hari dan hal-hal yang dianggap
baik. Sebab tasawuf itu berasal dari kesucian mu’amalah (pergaulan)
dengan Allah dan dasarnya adalah memisahkan diri dari dunia.”
Komentar Ibnul Jauzi, jika seperti ini yang dikatakan para
syeikh mereka, maka dari syeikh-syeikh yang lain muncul banyak
kesalahan dan penyimpangan, karena mereka menjauhkan diri dari ilmu.
Jika memang begitu keadaannya, lanjut Ibnul Jauzi, maka mereka harus
disanggah, karena tidak perlu ada sikap manis muka dalam menegakkan
kebenaran. Jika tidak benar, maka kita tetap harus waspada terhadap
perkataan yang keluar dari golongan mereka.
Dicontohkan suatu kasus, Imam Ahmad bin Hanbal (780-855M) pernah
berkata tentang diri Sary As-Saqathy, “Dia seorang syeikh yang
dikenal karena suka menjamu makanan.” Kemudian ada yang
mengabarinya bahwa dia berkata, bahwa tatkala Allah menciptakan
huruf-huruf, maka huruf ba’ sujud kepada-Nya. Maka seketika itu pula
Imam Ahmad berkata: “Jauhilah dia!” (Ibnul Jauzi, Talbis Iblis, Darul
Fikri, 1368H, hal 168-169).
Kapan awal munculnya tasawuf
Tentang kapan awal munculnya tasawuf, Ibnul Jauzi mengemukakan,
yang pasti, istilah sufi muncul sebelum tahun 200H. Ketika pertama
kali muncul, banyak orang yang membicarakannya dengan berbagai
ungkapan. Alhasil, tasawuf dalam pandangan mereka merupakan latihan
jiwa dan usaha mencegah tabiat dari akhlak-akhlak yang hina lalu
membawanya ke akhlak yang baik, hingga mendatangkan pujian di dunia dan
pahala di akherat.
Begitulah yang terjadi pada diri orang-orang yang pertama kali
memunculkannya. Lalu datang talbis Iblis (tipuan mencampur adukkan
yang haq dengan yang batil hingga yang batil dianggap haq) terhadap
mereka (orang sufi) dalam berbagai hal. Lalu Iblis memperdayai
orang-orang setelah itu daripada pengikut mereka. Setiapkali lewat
satu kurun waktu, maka ketamakan Iblis untuk memperdayai mereka
semakin menjadi-jadi. Begitu seterusnya hingga mereka yang datang
belakangan telah berada dalam talbis Iblis.
Talbis Iblis yang pertama kali terhadap mereka adalah menghalangi
mereka mencari ilmu. Ia menampakkan kepada mereka bahwa maksud ilmu
adalah amal. Ketika pelita ilmu yang ada di dekat mereka dipadamkan,
mereka pun menjadi linglung dalam kegelapan.
Di antara mereka ada yang diperdaya Iblis, bahwa maksud yang
harus digapai adalah meninggalkan dunia secara total. Mereka pun
menolak hal-hal yang mendatangkan kemaslahatan bagi badan, mereka
menyerupakan harta dengan kalajengking, mereka berlebih-lebihan dalam
membebani diri, bahkan di antara mereka ada yang sama sekali tidak
mau menelentangkan badannya, terlebih lagi tidur.
Sebenarnya tujuan mereka itu bagus. Hanya saja mereka meniti jalan
yang tidak benar dan diantara mereka ada yang karena minimnya ilmu,
lalu berbuat berdasarkan hadits-hadits maudhu` (palsu), sementara dia
tidak mengetahuinya.
Syari’at dianggap ilmu lahir hingga aqidahnya rusak
Kemudian datang suatu golongan yang lebih banyak berbicara
tentang rasa lapar, kemiskinan, bisikan-bisikan hati dan hal-hal yang
melintas di dalam sanubari, lalu mereka membukukan hal-hal itu,
seperti yang dilakukan Al-Harits Al-Muhasibi (meninggal 857M). Ada
pula golongan lain yang mengikuti jalan tasawuf, menyendiri dengan
ciri-ciri tertentu, seperti mengenakan pakaian tambal-tambalan, suka
mendengarkan syair-syair, memukul rebana, tepuk tangan dan sangat
berlebih-lebihan dalam masalah thaharahdan kebersihan. Masalah ini
semakin lama semakin menjadi-jadi, karena para syaikh menciptakan
topik-topik tertentu, berkata menurut pandangannya dan sepakat
untuk menjauhkan diri dari ulama. Memang mereka masih tetap
menggeluti ilmu, tetapi mereka menamakannya ilmu batin, dan mereka
menyebut ilmu syari’at sebagai ilmu dhahir. Karena rasa lapar yang
mendera perut, mereka pun membuat khayalan-khayalan yang musykil,
mereka menganggap rasa lapar itu sebagai suatu kenikmatan dan
kebenaran. Mereka membayangkan sosok yang bagus rupanya, yang menjadi
teman tidur mereka. Mereka itu berada di antara kufur dan bid’ah.
Kemudian muncul beberapa golongan lain yang mempunyai jalan
sendiri-sendiri, dan akhirnya aqidah mereka jadi rusak. Di antara
mereka ada yang berpendapat tentang adanya inkarnasi/hulul
(penitisan) yaitu Allah menyusup ke dalam diri makhluk dan ada yang
menyatakan Allah menyatu dengan makhluk/ ittihad. Iblis senantiasa
menjerat mereka dengan berbagai macam bid’ah, sehingga mereka membuat
sunnah tersendiri bagi mereka. (ibid, hal 164).
Perintis tasawuf tak diketahui pasti
Abdur Rahman Abdul Khaliq, dalam bukunya Al-Fikrus Shufi fi Dhauil
Kitab was Sunnah menegaskan, tidak diketahui secara tepat siapa yang
pertama kali menjadi sufi di kalangan ummat Islam. Imam Syafi’i
ketika memasuki kota Mesir mengatakan, “Kami tinggalkan kota Baghdad
sementara di sana kaum zindiq (menyeleweng; aliran yang tidak percaya
kepada Tuhan, berasal dari Persia; orang yang menyelundup ke dalam
Islam, berpura-pura –menurut Leksikon Islam, 2, hal 778) telah
mengadakan sesuatu yang baru yang mereka namakan assama’ (nyanyian).
Kaum zindiq yang dimaksud Imam Syafi’i adalah orang-orang sufi.
Dan assama’ yang dimaksudkan adalah nyanyian-nyanyian yang mereka
dendangkan. Sebagaimana dimaklumi, Imam Syafi’i masuk Mesir tahun
199H.
Perkataan Imam Syafi’i ini mengisyaratkan bahwa masalah nyanyian
merupakan masalah baru. Sedangkan kaum zindiq tampaknya sudah dikenal
sebelum itu. Alasannya, Imam Syafi’i sering berbicara tentang mereka
di antaranya beliau mengatakan:
“Seandainya seseorang menjadi sufi pada pagi hari, maka siang sebelum dhuhur ia menjadi orang yang dungu.”
Dia (Imam Syafi’i) juga pernah berkata: “Tidaklah seseorang menekuni
tasawuf selama 40 hari, lalu akalnya (masih bisa) kembali normal
selamanya.” (Lihat Talbis Iblis, hal 371).
Semua ini, menurut Abdur Rahman Abdul Khaliq, menunjukkan bahwa
sebelum berakhirnya abad kedua Hijriyah terdapat satu kelompok
yang di kalangan ulama Islam dikenal dengan sebutan Zanadiqoh (kaum
zindiq), dan terkadang dengan sebutan mutashawwifah (kaum sufi).
Imam Ahmad (780-855M) hidup sezaman dengan Imam Syafi’i (767-820M),
dan pada mulanya berguru kepada Imam Syafi’i. Perkataan Imam Ahmad
tentang keharusan menjauhi orang-orang tertentu yang berada dalam
lingkaran tasawuf, banyak dikutip orang. Di antaranya ketika
seseorang datang kepadanya sambil meminta fatwa tentang perkataan
Al-Harits Al-Muhasibi (tokoh sufi, meninggal 857M). Lalu Imam Ahmad
bin Hanbal berkata:
“Aku nasihatkan kepadamu, janganlah duduk bersama mereka (duduk dalam majlis Al-Harits Al-Muhasibi)”.
Imam Ahmad memberi nasihat seperti itu karena beliau telah
melihat majlis Al-Harits Al-Muhasibi. Dalam majlis itu para
peserta duduk dan menangis –menurut mereka– untuk mengoreksi diri.
Mereka berbicara atas dasar bisikan hati yang jahat. (Perlu kita
cermati, kini ada kalangan-kalangan muda yang mengadakan
daurah/penataran atau halaqah /pengajian, lalu mengadakan muhasabatun
nafsi/ mengoreksi diri, atau mengadakan apa yang mereka sebut renungan,
dan mereka menangis tersedu-sedu, bahkan ada yang meraung-raung.
Apakah perbuatan mereka itu ada dalam sunnah Rasulullah saw?
Ataukah memang mengikuti kaum sufi itu?).
Abad III H Sufi mulai berani, semua tokohnya dari Parsi
Tampaknya, Imam Ahmad bin Hanbal radhiyallahu`anhu mengucapkan
perkataan tersebut pada awal abad ketiga Hijriyah. Namun sebelum abad
ketiga berakhir, tasawuf telah muncul dalam hakikat yang sebenarnya,
kemudian tersebar luas di tengah-tengah umat, dan kaum sufi telah
berani mengatakan sesuatu yang sebelumnya mereka sembunyikan.
Jika kita meneliti gerakan sufisme sejak awal perkembangannya hingga
kemunculan secara terang-terangan, kita akan mengetahui bahwa seluruh
tokoh pemikiran sufi pada abad ketiga dan keempat Hijriyah berasal
dari Parsi (kini namanya Iran, dulu pusat agama Majusi, kemusyrikan
yang menyembah api, kemudian menjadi pusat Agama Syi’ah), tidak ada
yang berasal dari Arab.
Sesungguhnya tasawuf mencapai puncaknya, dari segi aqidah dan hukum,
pada akhir abad ketiga Hijriyah, yaitu tatakla Husain bin Manshur
Al-Hallaj berani menyatakan keyakinannya di depan penguasa, yakni dia
menyatakan bahwa Allah menyatu dengan dirinya, sehingga para ulama
yang semasa dengannya menyatakan bahwa dia telah kafir dan harus
dibunuh.
Pada tahun 309H/ 922M ekskusi (hukuman bunuh) terhadap Husain bin
Manshur Al-Hallaj dilaksanakan. Meskipun demikian, sufisme tetap
menyebar di negeri Parsi, bahkan kemudian berkembang di Irak.
Abad keempat mulai muncul thariqat/ tarekat
Tersebarnya sufisme didukung oleh Abu Sa`id Al-Muhani. Ia
mendirikan tempat-tempat penginapan yang dikelola secara khusus yang
selanjutnya ia ubah menjadi markas sufisme. Cara penyebaran sufisme
seperti itu diikuti oleh para tokoh Sufi lainnya sehingga pada
pertengahan abad keempat Hijriyah berkembanglah cikal bakal thariqat/
tarekat sufiyah, kemudian secara cepat tersebar di Irak, Mesir, dan
Maghrib (Maroko).
Pada abad keenam Hijriyah muncul beberapa tokoh tasawuf,
masing-masing mengaku bahwa dirinya keturunan Rasulullah SAW,
kemudian mendirikan tempat thariqat sufiyah dengan pengikutnya yang
tertentu. Di Irak muncul thariqat sufiyah Ar-Rifa`i (Rifa’iyah); di
Mesir muncul Al-Badawi, yang tidak diketahui siapa ibunya, siapa
bapaknya, dan siapa keluarganya; demikian juga Asy-Syadzali
(Syadzaliyah/ Syadziliyah) yang muncul di Mesir. Dari thariqat-thariqat tersebut muncul banyak cabang thariqat sufiyah.
Abad ke-6,7, & 8 puncak fitnah shufi
Pada abad keenam, ketujuh, dan kedelapan Hijriyah fitnah
sufisme mencapai puncaknya. Kaum Sufi mendirikan kelompok-kelompok
khusus, kemudian di berbagai tempat dibangun kubah-kubah di atas
kuburan. Semua itu terjadi setelah tegaknya Daulah Fathimiyah
(kebatinan) di Mesir, dan setelah perluasan kekuasaan ke
wilayah-wilayah dunia Islam. Lalu, kuburan-kuburan palsu muncul,
seperti kuburan Husain bin Ali radliyallahu `anhuma di Mesir, dan
kuburan Sayyidah Zainab. Setelah itu, mereka mengadakan peringatan
maulid Nabi, mereka melakukan bid`ah-bid`ah dan khufarat-khufarat.
Pada akhirnya mereka meng-ilahkan (menuhankan) Al-Hakim Bi-Amrillah
Al-Fathimi Al-Abidi.
Propaganda yang dilakukan oleh Daulah Fathimiyah tersebut
berawal dari Maghrib (Maroko), mereka menggatikan kekuasaan
Abbasiyah yang Sunni. Daulah Fathimiyah berhasil menggerakkan
kelompok Sufi untuk memerangi dunia Islam. Pasukan-pasukan kebatinan
tersebut kemudian menjadi penyebab utama berkuasanya pasukan salib
(Kristen Eropa) di wilayah-wilayah Islam.
Pada abad kesembilan, kesepuluh, dan kesebelas Hijriyah, telah
muncul berpuluh-puluh thariqat sufiyah, kemudian aqidah dan
syari`at Sufi tersebar di tengah-tengah umat. Keadaan yang merata
berlanjut sampai masa kebangkitan Islam baru.
Ibnu Taimiyyah dan murid-muridnya memerangi shufi
Sesungguhnya kebangkitan Islam sudah mulai tampak pada akhir abad
ketujuh dan awal abad kedelapan Hijriyah, yaitu tatkala Imam Mujahid
Ahmad bin Abdul-Hakim Ibnu Taimiyyah (1263-1328M) memerangi seluruh
aqidah yang menyimpang melalui pena dan lisannya, di antara yang
diperangi adalah aqidah kaum Sufi.
Setelah itu, perjuangan beliau dilanjutkan oleh murid-muridnya,
seperti Ibnul-Qayyim (Damaskus 1292-1350M), Ibnu-Katsir (wafat 774H),
Al-Hafizh Adz-Dzahabi, dan Ibnu Abdil-Hadi.
Meskipun mendapat serangan, tasawuf, dan aqidah-aqidah batil terus
mengakar, hingga berhasil menguasai umat. Namun, pada abad kedua belas
hijriyah Allah mempersiapkan Imam Muhammad bin Abdul-Wahhab untuk umat
Islam. Ia mempelajari buku-buku Syaikh Ibnu Taimiyyah, kemudian bangkit
memberantas dan memerangi kebatilan. Dengan sebab upaya beliau, Allah
merealisasikan kemunculan kebangkitan Islam baru.
Da`wah Muhammad bin Abdul-Wahhab disambut oleh orang-orang
mukhlis di seluruh penjuru dunia Islam. Namun, daulah sufisme tetap
memiliki kekuatan di berbagai wilayah dunia Islam, dan simbol-simbol
tasawuf masih tetap ada. Simbol-simbol tasawuf yang dimaksudkan adalah
kuburan-kuburan, syaikh-syaikh atau guru-guru sesat, dan aqidah-aqidah
yang rusak dan batil (lihat: Al-Fikrush-Shufi fi Dhau`il-Kitab was
Sunnah,oleh Abdur-Rahman Abdul-Khaliq, halaman 49-53, dikutip Laila
binti Abdillah dalam As-Shufiyyah `Aqidah wa Ahdaf, Darul Wathan Riyad,
I, 1410H, hal 13-17).
Back To Al Qur an And Hadits
Dewasa ini,kita telah banyak melakukan pelencengan dalam beragama.Banyak paham2 baru yang timbul seperti jamur di musim hujan.Sehingga,masya awam sulit dalam menentukan yang mana yang benar dan mana yang salah.Padahal semuanya telah diterangkan didalam Al Qur an maupun Hadits Rasulullah SAW.Sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim bahwa yang halal dan haram itu telah jelas.
Khutbah Hajjah
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نًََحْمَدُهُ وَنًَسْتًَعِيْنُهُ وَنًَسْتَغْفِرُهْ وَنًَعُوذً ِبِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا. أَمَّابَعْدُ؛
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ ِبِِِِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
Artinya:
Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampun kepada-Nya, kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan kejelekan amalan-amalan kita, barangsiapa yang Allah beri petunjuk maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang Allah sesatkan maka tidak ada yang dapat memberinya hidayah. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali hanya Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad Shallallahu alaihi wasallam adalah hamba dan utusan Allah.
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam.” (QS: Ali Imran: 102)
“Wahai manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) Nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah menjaga dan mengawasimu.” (QS:An-Nisa:1)
“Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah dengan perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalanp-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS: Al-Ahzab:70-71)
Amma ba’du (selanjutnya):
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dalam agama, setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka.
Kamis, 19 Januari 2012
Rabu, 30 November 2011
Menolak Kemungkaran dan Bid’ah
Oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عَنْ أُمّ الْمُؤْ مِنِيْنَ أُمّ عَبْدِ الله عَا ئِشَة رَضِي الله عَنْهاَ قَالَتْ : قَالَ رَ سُوْلُ الله صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم : مَنْ أَحْدَ ثَ فِي أَمْرِ نَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَرَدٌّ. (رواه البخا ر ي ومسلم) وَفِيْ رِوَايةٍ لِمٌسْلِم : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَرَدٌّ.
Diriwayatkan dari Ummul Mukminin, Ummu ‘Abdillah, ‘Aisyah radhiyaallahu’anha ia berkata: Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menciptakan hal baru dalam perkara (ibadah) yang tidak ada dasar hukumnya, maka ia ditolak”. (HR Al Bukhari dan Muslim)Dalam hadits riwayat Muslim: Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa melakukan amalan, yang tidak didasari perintah kami, maka ia ditolak”.Beliau adalah Ummul Mukminin, ‘Aisyah binti Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu’anhuma, istri Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam yang dinikahi di Mekkah pada saat berusia enam tahun. Nabi shallahu’alaihi wa sallam hidup bersama beliau di Madinah ketika beliau berusia sembilan tahun, yaitu pada tahun kedua Hijriyyah dan beliau tidak menikah dengan gadis selainnya.Beliau adalah istri yang paling dicintai di antara istri-istri beliau yang lain. Beliau adalah wanita yang dibebaskan oleh Allah dari berita bohong yang menimpanya dengan wahyu yang diturunkan kepada Nabi shallahu’alaihi wa sallam. Beliau banyak menghafal hadits, dan termasuk wanita paling pandai. Pada suatu hari Rasulullah mengabarkan kepadanya, bahwa malaikat Jibril ‘alaihissalam menitip salam kepadanya.Pada saat Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam meninggal dunia, beliau berusia delapan belas tahun. Dikabarkan bahwa beliau adalah wanita termulia dan akan menjadi istri Rasulullah shallahu’alihi wa sallam di surga. ‘Aisyah wafat pada tahun 58 hijriyyah dalam usia 67 tahun, dan dikuburkan di pemakaman Baqi’.
Takhrijul Hadits
1. Shahih Al Bukhari, kitab ash-Shulhi, bab idzas Tholahu ‘ala Shulhi Jaurin, no. 2550.
2. Shahih Muslim, kitab al Aqhdiyah, bab Naqdhil-Ahkamil Bathilah wa Raddi Muhdatsatil-Umur (no.1718).
3. Sunan Abi Dawud, kitab as-Sunnah, bab Fi Luzumis-Sunnah, no. 4606.
4. Sunan Ibni Majah dalam al Muqaddimah, no. 14.
5. Musnad Imam Ahmad (VI/73, 146, 180, 240, 256, 270).
6. Shahih Ibni Hibban, no. 26 dan 27.
Ahammiyatul Hadits (Urgensi Hadits)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadist ini perlu dihafal dan dijadikan dalil untuk menolak segala kemungkaran.” Ibnu Daqiqil-‘Id rahimahullah berkata, “Hadits ini adalah salah satu pedoman penting dalam agama Islam, yang merupakan jawami’ul kalim (kalimat pendek namun penuh arti) yang dikaruniakan kepada Nabi shallahu’alaihi wa sallam. Hadits ini dengan tegas menolak setiap perkara (dalam urusan agama) yang direkayasa. Sebagian ahli ushul fiqih menjadikan hadits ini sebagai dasar kaidah, bahwa setiap yang terlarang dinyatakan sebagai hal yang merusak.”Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah berkata.”Hadits ini adalah salah satu prinsip dasar yang agung dari prinsip-prinsip dasar Islam, dan menjadi barometer dari setiap amal perbuatan yang zhahir. Sebagaimana hadits, ‘Innamal-a’malu biniyyat…. (sesungguhnya seluruh amal perbuatan tergantung dengan niatnya…) . merupakan barometer dari setiap perbuatan dari segi batin (niat)”.Sesungguhnya setiap amal perbuatan yang tidak ditujukan untuk mencari ridha Allah, maka amal tersebut tidak berpahala. Demikian pula halnya dengan segala amal perbuatan yang tidak ada dasar perintah dari Allah dan Rasul-Nya juga tertolak dari pelakunya. Siapa saja yang menciptakan hal-hal baru dalam agama yang tidak diizinkan Allah dan Rasul-Nya, maka bukanlah termasuk perkara agama sedikitpun.Al Hafizh Ibnu Hajar al’Asqalani rahimahullah berkata,”Hadits ini termasuk bagian dari prinsip-prinsip dasar Islam dan merupakan satu kaidah dalam kaidah-kaidah Islam.”
Fiqhul Hadits (Kandungan Hadits)
1. Pelaksanaan syari’at Islam harus dilakukan denga cara ittiba’ (mengikuti), bukan ibtida’ (mengada-ada).Melalui hadits ini Rasulullah shallahu’alahi wa sallam menjaga kemurnian Islam dari orang-orang yang melampaui batas. Hadits ini merupakan jawami’ul kalim yang mengacu pada berbagai nash al Qur’an yang menyatakan, bahwa keselamatan seseorang hanya akan diraih dengan mengikuti petunjuk Rasulullah shallahu’alahi wa sallam, tanpa menambahkan ataupun mengurangi, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Azza wa Jalla:
قُلْ إِ ن كُنتُمْ تُحِبُّو نَ اۤللَّه فاۤ تَّبِعُو نِى يُحْبِبْكُمُ اۤللَّه وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُو بَكُمْ وَاۤللَّهُ غَفُو رُ رَّحِيمٌ
Katakanlah (wahai Muhammad):”Jika kalian semua mencintai Allah, maka ikutilah aku; tentu Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang”. (Ali Imran: 31)Juga firman-Nya:
وَمَن يَبْتَغِ غَيرَ اۤﻹسْلَم دينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فى اۤﻷَ خِرَ ةمِنَ اۤلْخَۤسِرِ ينَ
Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi”. (Ali Imran: 85)Juga dalam friman-Nya:
وَأَنَّ هَۤذَا صِرَٰ طِى مُسْتَقِيمًا فَاۤتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوأ اۤلسُّبُلَ فَتَفَرَّ قَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ “Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang sesat) karena dapat mencerai-beraikan kalian dari jalan-Ku”. (Al An’am: 153)Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihnya bahwa dalam khutbahnya, Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam bersabda:
فَإِ نَّ أصْدَ قَ الْحَدِيثِ كِتَا بُ اللهِ وَخَيرَ الهَدْ يِ هَدْيُ مُحَمّدٍ صَلىَ اللهُ عَلَيهِ وَسلم وَشَرَاﻷُ مُو رِ مُحْد ثَا تُهَا وَ كُلَّ مُحْدَ ثَةٍ بِدْ عَةٌ وَكُلَّ بِدْ عَةٍ ضَلاَلَةٌ
Sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah (al Qur’an dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallahu’alahi wa sallam. Seburuk-buruk perkara adalah yang dibuat-buat, dan semua yang dibuat-buat adalah bid’ah, sedangkan semua bid’ah adalah sesat.
Dalam riwayat al Baihaqi dan an Nasa’i terdapat tambahan:
وَكُلَّ ضَلاَ لَةٍ فِي النّا رِ
Dan semua kesesatan masuk neraka. 2. Hadits ini merupakan dasar yang jelas, bahwa semua perbuatan (ibadah) yang tidak didasari oleh perintah syari’at adalah tertolak. Hadits ini juga menunjukkan, bahwa semua perbuatan—baik yang berhubungan dengan perintah maupun larangan—terikat dengan hukum syari’at. Karenanya, sungguh sangat sesat perbuatan yang keluar dari syari’at; seolah-olah perbuatanlah yang menghukumi syari’at, dan bukan syari’at yang menghukumi perbuatan. Oleh karena itu, setiap muslim wajib menyatakan, ibadah-ibadah yang ada di luar ketentuan syari’at adalah bathil dan tertolak.para Ulama membagi perbuatan-perbuatan dalam ketentuan syari’at terbagi menjadi dua. Pertama, dalam masalah ibadah. Kedua, dalam masalah mu’amalah.
Pertama, dalam masalah ibadah.
Hukum asal ibadah, pada asalnya adalah dilarang, kecuali yang dicontohkan oleh syari’at. Setiap orang yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan suatu ibadah, maka harus ada dalil shahih yang menunjukkan disyari’atkannya ibadah tersebut. Jika ibadah yang dilakukan sesorang keluar dari hukum syari’at, maka perbuatan tersebut tertolak. Ini masuk dalam firman Allah Azza wa Jalla: “Apakah mereka mempunyai sekutu selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak dizinkan (diridhai) Allah?“ (As-Syura: 21)Contohnya, mendekatkan diri kepada Allah dengan mendengar nyanyian, menari, melihat wanita, atau berbagai perbuatan lainnya yang tidak didasarkan pada syari’at. Mereka inilah orang-orang yang dibutakan hatinya oleh Allah, sehingga tidak bisa melihat kebenaran; bahkan kemudian selalu mengikuti langkah-langkah setan. Mereka mengklaim, bahwa mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah melalui kesesatan yang mereka ada-adakan.Mereka ini, tidak jauh berbeda dengan orang-orang Arab Jahiliyah yang menciptakan satu bentuk ibadah dan pendekatan diri kepada Allah, sedangkan Allah tidak menurunkan hujjah (ilmu) atasnya. Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan shalat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan. Maka rasakanlah adzab disebabkan karena kekafiran itu.“ (al Anfal: 35)Terkadang suatu perbuatan disyari’atkan dalam suatu ibadah, tetapi tidak menjadi ibadah yang benar pada waktu dan tempat yang lain. Sebagai contoh, berdiri dalam shalat adalah amal (perbuatan) ketaan yang disyari’atkan. Akan tetapi, sengaja berdiri dibawah sengatan terik matahari ketika melakukan puasa adalah tidak disyari’atkan. Pernah, pada masa Nabi ada orang yang berpuasa sambil beridiri dibawah sengatan terik matahari. Ia tidak duduk dan berteduh. Lalu Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam menyuruhnya untuk duduk dan berteduh sambil terus menyempurnakan puasanya.Para ulama telah sepakat, suatu ibadah tidaklah sah, kecuali apabila terkumpul dua syarat. Yaitu ikhlas karena Allah dan mutaba’ah (mengikuti contoh Nabi). Hendaknya diketahui, bahwasanya mutaba’ah (ittiba’) tidak akan terwujud, melainkan bila amal itu sesuai dengan syari’at Islam dalam enam perkara (a) sebab, (b) jenisnya, (c) kadar bilangannya, (d) kaifiyat, (e) waktunya (f) tempatnya.
a. Sebabnya.Kedua, dalam masalah mu’amalah.
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyariatkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima. Misalnya, ada orang yang melakukan shalat tahajjud pada malam 27 bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam mi’raj Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam. Shalat tahajjud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut, maka ia menjadi sebab yang tidak ditetapkan dalam syari’at. Syarat ini sangat penting, karena dengan demikian akan dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah, namun sebenarnya adalah bid’ah.
b. Jenisnya.
Maksudnya, ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima. Misalnya, seorang yang menyembelih kuda untuk kurban. Maka penyembelihan ini tidak sah, karena menyalahi ketentuan syar’i dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu unta, sapi, dan kambing.
c. Kadar (bilangan/ukuran).
Jika ada seseorang yang menambah bilangan raka’at shalat, yang menurutnya penambahan itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan syari’at dalam hal bilangan raka’atnya. Jadi apabila aa orang shalat dzuhur lima raka’at, umpamanya, maka shalatnya tidak sah.
d. Kaifiyat (cara)nya.
Seandainya ada orang yang shalat, dia sujud terlebih dahulu sebelum ruku. Maka shalatnya tidak sah dan tertolak, karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syari’at.
e. Waktunya.
Apabila ada orang yang menyembelih binatang kurban atau hadyu pada hari pertama bulan dzulhijjah, maka sembelihan (kurban)nya tidak sah, karena waktu pelaksanaannya di luar ketentuan ajaran Islam. Contoh lain, orang yang shalat sebelum masuk waktunya, maka shalat tidak diterima.
f. Tempatnya.
Andaikata ada orang yang beri’tikaf di tempat selain masjid, maka i’tikafnya tidak sah. Sebab, tempat i’tikaf hanyalah di masjid.
Hukum asal dalam mu’amalah adalah dihalalkan, kecuali mu’amalah yang diada-adakan; yang memang ada keterangan dari syari’at yang menunjukkan diharamkannya mu’amalah tersebut.Keterangan sebagai berikut:
a. Berbagai akad yang dilakukan manusia yang dilakukan sebagai ganti dari akad syari’at yang sah.Contohnya, kejadian pada masa Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam, suatu saat ada orang yang bertanya kepad Rasulullah dan menginginkan agar hukuman zina diubah dengan denda, maka Rasulullah menolaknya. Lebih lengkapnya kejadian tersebut diriawyatkan oleh Al Bukhari dan Imam Muslim dalam seuah hadits yang menyatakan, bahwa Nabi Shallahu’alaihi wa sallam didatangi seorang. Orang itu berkata: “Anakku bekerja pada si Fulan, lau ia berzina dengan istrinya. Saya telah membayar denda sebanyak seratus kambing dan seorang pembantu.” Mendengar penuturannya Rasulullah bersabda:” seratus kambing dan pembantu dikembalikan kepadamu, dan hukuman bagi anakmu seratus kali cambukan dan diasingkan selama satu tahun”.
b. Akad yang dilarang menurut syari’at, seperti:-Pernikahan yang diharamkan oleh Allah dengan sebab kerabat, atau nasab, atau menggabungkan dua saudara. Maka akadnya adalah bathil (tidak sah).-Hilangnya salah satu syarat dalam akad, seperti nikah tanpa wali, baik gadis maupun janda, maka akad nikahnya tidak sah.-Akad yang diharamkan Allah Ta’ala, seperti jual-beli khamr, bangkai, babi, patung, anjing, riba, dan semua jual-beli yang dilarang menurut syari’at, maka akadnya bathil atau tertolak.-Akad yang didalamnya ada kedzaliman atau penipuan, maka dikembalikan kepada yang didzalimi, dan lainnya.
Demikian juga semua akad (transaksi) yang dilarang oleh syara’ , atau dua orang yang melakukan akad mengabaikan salah satu rukun atau syarat akad, maka akad tersebut bisa batal dan tertolak. Permaslahan ini, tentang sah dan tidaknya serta tertolak dan tidaknya, secra lebih terperinci bisa dibaca di kitab-kitab fiqih.
3. Dalam Kehidupan, ada perkara-perkara yang sifatnya baru dan tidak bertentangan dengan syari’at, bahkan sesuai atau cenderung didukun dasar-dasar syari’at. Maka perkara-perkara tersebut diterima. Hal inilah yang disebut maslahat mursalah. Para shahabat banyak mencontohkan hal ini. Seperti menghimpun al Qur’an pada masa Abu Bakar, penyeragaman (bacaan) al Qur’an pada masa Utsman bin Affan dengan mengirimkan salinan-salinan mushaf ke berbagai penjuru disertai para qari’.
Contoh lainnya, penulisan ilmu nahwu, tafsir, sanad hadits dan berbagai ilmu lainnya, baik teori maupun yang bersifat empiris yang bermanfaat bagi manusia, dan dapat mendorong pelaksanaannya hokum Allah di muka bumi ini.
Dari uraian di atas bisa disimpulkan, bahwa perkara-perkara yang sifatnya baru dan bertentangan dengan syari’at, maka perkara tersebut tergolong bid’ah yang tercela dan sesat. Namun perkara yang sifatnya baru dan tidak bertentangan dengan syari’at, maka perkara tersebut baik dan diterima. Dari perkara-perkara itu ada yang sunnah, ada juga yang bersifat fardhu kifayah.
Dosa bid’ah yang sesat pun bervariasi, tergantung bahaya yang ditimbulkan dan ketidaksesuaiannya dengan nilai-nilai Islam. Bahkan dalam melakukan perbuatan bid’ah tersebut, seseorang bisa terjerumus pada kekufuran dan kesesatan. Misalnya, orang yang bergabung dengan aliran sesat, yang mengingkari wahyu dan syari’at Allah, mengajak untuk menerapkan hukum buatan manusia, menuduh penerapan hukum Allah merupakan keterbelakangan. Atau orang yang bergabung dengan jama’ah-jama’ah sufi yang meremehkan berbagai kewajiban, atau mempunyai paham wihdatul wujud ataupun hulul (manunggaling kawula gusti) dan berbagai perilaku sesat lainnya; maka perbuatan ini jelas-jelas kufur, dan dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam; tentunya setelah terpenuhi syarat dan tidak ada penghalang yang membuat dia keluar dari Islam.
Yang juga termasuk bid’ah sayyi’ah atau sesat, yaitu pengagungan terhadap suatu benda dan minta keberkahan kepada benda tersebut dengan kayakinan, bahwa benda yang ia agungkan bisa member manfaat (atau sebagai perantara-red). Misalnya mengagungkan pohon, batu, atau lainnya. Pernah suatu saat para shahabat lewat di samping pohon bidara yang diagung-agungkan orang-orang musyrik.
Diriwayatkan dari Abu Waqid al Laitsi radhiyallahu’anhu, ia berkata:
Kami keluar bersama Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam ke hunain, dan kami adalah orang-orang yang baru masuk Islam. Ketika itu orang-orang musyrik memilki sebatang pohon bidara yang disebut dzatu anwath. Mereka selalu mendatanginya dan menggantungkan senjata-senjata perang mereka pada pohon itu, kami pun berkata: “Ya Rasulullah. Buatkanlah kami dzatu anwath sebagaimana mereka (orang-orang musyrik) mempunyai dzatu anwath.”
Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam bersabda:
Subhanallah, hal ini seperti perkataan kaum Nabi Musa (Bani Israil kepada Musa), ‘Buatkanlah untuk kami sesembahan, sebagaimana mereka mmemilki sesembahan’. (Al A’raf: 138) –Demi Rabb yang diriku berada di tangan-Nya, kamu benar-benar mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu”. (HR Tirmidzi no. 1281. Beliau berkata,”Hadits ini hasan shahih”).
Dalam hal ini mereka tidak kafir, karena mereka baru masuk Islam. Dan perkataan tersebut mereka ucapkan karena ketidaktahuan.
Hadits kedua, “Barangsiapa melakukan amalan, yang tidak didasari perintah kami, maka ia (amalan tersebut) tertolak”, karena sebagian ahli bid’ah hadits pertama. Mereka berargumen, kami tidak pernah menciptakan hal baru. Apa yang kami lakukan telah kami dapatkan ari orang-orang sebelum kami. Maka dengan menyebutkan hadits yang kedua ini argumen mereka tidak bernilai.
1. Dari hadits di atas bisa kita pahami bahwa barangsiapa yang mereka-reka satu amalan maka dosanya ia sendiri yang menanggung dan amalan tersebut tertolak.
2. Setiap orang yang mengadakan sesuatu yang baru dalam ibadah, seperti do’a dan dzikir tertentu yang tidak ada Sunnahnya dari Nabi shallahu’alahi wa sallam, maka ia telah berdosa dari empat segi.
a. Meninggalkan doa dan dzikir yang disyari’atkan.
b. Menambah-nambah syari’at Islam.
c. Mensunnahkan seusatu yang tidak disyari’atkan.
d. Mengelabui orang awam, yang menurut mereka bahwa hal itu boleh dikerjakan.
KesimpulanWajib atas setiap penuntut ilmu untuk berhati-hati, dan tidak terburu-buru dalam menghukumi suatu amal ditolak (tidak diterima) berdalil dengan hadits ini. Wajib baginya untuk melihat dan mencari pendapat ulama tentang hukum dalam suatu masalah. Dia harus memahami kaidah dan prinsip yang dipakai para ulama dalam menentukan suatu amalan diterima atau ditolak. Wallahu’alam.
Fawaidul Hadits (Manfaat Hadits)
1. Hadits sebagai barometer (timbangan) amal yang zahir.
2. Perbuatan bid’ah adalah diharamkan dalam agama.
3. Amal perbuatan yang dibangun diatas bid’ah, maka ia tertolak.
4. Bahwasanya larangan terhadap sesuatu, cenderung karena adanya dampak kerusakan sesuatu tersebut.
5. Semua perbuatan yang diada-adakan dalam Islam yang tidak ada tuntunan dari syari’at maka perbuatan itu tertolak, meskipun dilakukan dengan niat yang baik.
6. Amal shalih yang dilakukan tidak mengikuti ketentuan syari’at, seperti enam perkara diatas (yaitu sebab, jenis, kadar, kaifiyat, waktu, dan tempat) maka amalnya bathil dan tidak sah.
7. Bahwasanya agama Islam adalah agama yang sempurna dan tidak ada kekurangan padanya.
8. Kewajiban umat Islam adalah ikhlas dalam beribadah kepada Allah dan ittiba’ kepada Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam.
9. Syarat diterimanya amal adalah ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti contoh Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam).
Maraji’:1. Syarah al Arba’in li Ibni Daqqil ‘Id, cet, Th 1427 H, Dar Ibni Hazm.
2. Jami’ul- ‘Ulum wal-Hikam, tahqiq Syaikh Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Baajis.
3. Al Wafi fi Syarhil-Arbain an-Nawawiyah, karya Dr. Mustafa al Bugha dan Muhyiddin Mostu, Cet.VIII, Th. 1413 H, Maktabah Dar at-Turats.
4. Qawa-id wa Fawa-id minal-Arbain an-Nawawiyah, karya Nazhim Muhammad Sulthan Cet. I, Th. 1408 H. Dar as-Salafiyyah.
5. Syarah al Arbain, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al’Utsaimin, Cet.III, Th.1425 H, Dar Tsurayya lin-Nasyr.
6. Fathul Qowiyyil Matin fi Syarh al Arba’in wa Tatimmatul-Khamsin, karya syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd al’Abbad al Badr, Cet. I, Th.1424 H, Dar Ibni “Affan.
7. Tash-hihud-Du’a, karya Syaikh Bakr Abu Zaid.
Disalin dari majalah as-Sunnah Edisi 01/Tahun XI/1428 H Hal 15-21.
TANDA-TANDA / CIRI-CIRI AHLI BID’AH DAN PARA PEMBELANYA
![]() |
Termasuk tanda-tanda atau ciri mereka adalah:
1. BERPECAH-BELAH
Maksudnya, mereka berpecah belah menjadi bergolong-golongan, berpartai-partai (hizbiy), bermadzhab-madzhab, sehingga yang menjadi dasar dan sumber rujukan agama bagi mereka adalah golongannya, bukan Al Qur'an dan Sunnah, serta mereka bangga dan fanatik terhadap apa yang ada pada golongannya itu.
Sesungguhnya Allah taala telah mengabarkan tentang mereka dalam al-Qur'an.
Ia berfirman:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
"Janganlah kalian menjadi orang-orang yang berpecah belah dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan. Dan mereka mendapatkan adzab yang besar”. [QS. Ali Imran: 105]
dan Ia berfirman;
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ
”Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka (terpecah-belah menjadi beberapa golongan) tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka”. [QS. Al An'am: 159]
Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat ini,
”Ayat ini secara umum menerangkan orang yang memecah-belah agama Allah dan mereka berselisih. Sesungguhnya Allah mengutus nabi-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar agar memenangkannya atas semua agama. Syariatnya adalah satu yang tidak ada perselisihan dan perpecahan padanya. Barang siapa yang berselish padanya maka merekalah golongan yang memecah belah agama seperti halnya pengikut hawa nafsu dan orang-orang sesat. Sesungguhnya Allah taala berlepas diri dari apa yang mereka lakukan”.
Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa;
"Syiar ahli bid'ah adalah perpecahan, Oleh karena itu al-Firqatun Najiah disfati dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dan mereka adalah jumhur dan kelompok terbesar umat ini. Adapun kelompok lainnya maka mereka adalah orang-orang yang nyleneh, berpecah belah, bidah dan pengikut hawa nafsu. Bahkan terkadang di antara firqah-firqah itu amat sedikit dan syiar firqah-firqah ini ialah menyelisihi al-Qur'an, as-Sunnah serta ijma”. [majmu' alfatawa (3 / 345 - 346)].
2. MENGIKUTI HAWA NAFSU
Inilah sifat mereka yang paling nampak. Allah taala berkata mensifati mereka;
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
“Maka kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya, dan (Allah) matikan pendengaran dan hatinya, dan menjadikan atas pandangannya penutup, maka siapa lagi yang akan memberikan petunjuk setelah Allah (membuatnya demikian), apakah mereka tidak ingat”. [QS. Al Jatsiah: 23].
Ibnu Katsir berkata,
” Yakni ia berjalan dengan hawa nafsunya. Apa yang dilihat baik oleh hawa nafsunya maka ia lakukan dan apa yang dilihatnya jelek maka ia tinggalkan. Inilah manhaj Mutazilah dalam menganggap baik dan jelak denga logika mereka”.
Nabi telah mengabarkan bahwa hawa nafsu tidak akan terlepas dari ahli bidah dalam hadits perpecahan di mana beliau bersabda;
”Sesungguhnya ahli kitab terpecah dalam agama mereka menjadi tujuh dua puluh millah dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menadi tujuh puluh tiga millah -yakni hawa nafsu- semuanya di neraka kecuali satu millah yaitu al-Jamaah. Sesunguhnya akan muncul pada umatku beberapa kaum hawa nafsu mengalir pada mereka sabagaimana mengalirnya penyakit anjing dalam tubuh mangsanya. Tidak tersiksa darinya satu urat dan persendian pun kecuali diamasukinya”. [HR. Ahmad (4 / 102), Abu Dawud (4597), Ad Darimi (2 / 314), Al Marwazi dalam As Sunnah (hal.15), Ibnu Abi Ashim (65), dan di shahihkan oleh Al Albani dalam Dzhilalul Jannah (hal. 33).]
3. MENGIKUTI AYAT-AYAT YANG SAMAR (MUTASYABIHAT)
Sifat mereka ini telah Allah kabarkan dalam firman-Nya,
فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ
”…Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang samar untuk menimbukan fitanh dan untuk mencari-cari takwilnya”.
Bukhari (4547) meriwayatkan hadits dari Aisyah beliau berkata;”Rasulullah membaca ayat ini,
”Dialah yang menurunkan al-quran kepada kamu di antara isinya ada aya-ayat yang muhkamat. Itulah pokok-pkok isi ajaran al-Quran dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya …sampai ayat … orang-orang yang berakal”.
Ia berkata,” Rasulullah, bersabda;
Bila engkau melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutashyabihat maka merekalah yang Allah namakan sebagai orang-orang yang harus dijauhi”.
Dari Amiril Mukminin Umar bin Al-Khathab beliau berkata;
”Akan datang manusia mendebat kalian dengan ayat-ayat mutaysabihat maka balaslah mereka dengan sunah-sunnah karena Ahlus Sunnah lebih mengetahui akan kitabullah”. [AR. Ad Darimiy dalam Sunannya (119), Al Ajurriy dalam Asy Syari'ah (hal.52), Al Lalaka'iy dalam Syarh ushul i'tiqod (1 / 123)],
4. MEMPERTENTANGKAN SUNNAH DENGAN AL-QURAN
Termasuk tanda ahli bidah adalah mempertentangkan al-Quran dengan sunnah dan merasa cukup mengambil al-quran dalam pelaksanaan hukum-hukum syara'.
sebagaimana yang diberitakan Nabi:
“Seorang laki-laki hampir bersandar di atas ranjangnya dibacakan haditsku lalu mengatakan; Antara kami dan kalian adalah kitabullah. Perkara halal yang kita temukan padanya maka kita halalkan dan perkara haram yang kita temukan padanya maka kita haramkan. Ketahuilah apa-apa yang Rasulullah haramkam adalah sama dengan apa yang Allah haramkan". [HR. Ahmad (4 / 132), Abu Dawud (), Ibnu Majah (12), dan di shahihkan oleh Al Albaniy dalam shahih Ibnu Majah (12)].
Al-Imam Al-Barbahari mengatakan :
”Bila kamu melihat seorang mencela hadits atau menolak atsar /hadits atau menginginkan selain hadits, maka curigailah keislamnnya dan jangan ragu-ragu bahwa dia adalah ahli bidah (pengikut hawa nafsu)” [Syarhus Sunnah]
Beliau berkata -lagi- :
”Bila kamu mendengar seorang dibacakan hadits di hadapannya tetapi ia tidak menginginkannya dan ia hanya mengingnkan al-Quran maka janganlah kamu ragu bahwa dia seorang yang telah dikuasai oleh kezindikan. Berdirilah dari sisinya dan tinggalkanlah ia!”
Mempertentangkan sunnah dengan al-Quran dan menolaknya bila belum ditemukan pada al-Quran apa-apa yang menguatkan sunnah, termasuk tanda ahli bidah yang paling nyata. Nabi telah mengabarkannya sebelum terjadi dan benarlah beliau. Sekarang apa yang beliau kabarkan telah terjadi. Sungguh kita mendengar dan membaca peristiwa semisal itu dari sebagian ahli bidah pada jaman dulu. Hingga kita melihat salah satu dari ahli bidah dan orang sesat jaman sekarang menghujat kitab shahih Bukhari yang telah disepakati oleh umat ini keshahihannya. Ia yakin bahwa padanya terdapat seratus dua puluh hadits yang tidak shahih yang ia sebut sebagai hadits Israiliat. Ia menghilangkannya dan mempertentangkannya dengan al-Quran kemudian ia bantah dan ingkari. Maka tampillah seorang tokoh ulama sekarang menentang, meruntuhkan sybuhatnya (kerancuannya), menolak kebatilannya, menampakkan penyimpangan dan kepalsuannya dengan karyanya untuk membantahnya dan orang yang menempuh jalanya, ahli bidah. Semoga Allah membalas amalnya dengan sebaik-baik pembalasan.
5. MEMBENCI HADITS AHLI HADITS
Termasuk tanda ahli bidah adalah membenci dan mencela ahli hadits dan atsar.
Dari Ahamad bin Sinan al-Qaththan katanya:
“Dan tidaklah ada di dunia ini seorang mubtadi pun kecuali membenci ahli hadits”. [Aqidatus Salaf wa Ashhabul Hadits, oleh Isma'il Ash Shabuniy]
Abu Hatim ar-Razi berkata,
”Tanda ahli bidah adalah mencela ahli hadits dan tanda orang zindik adalah menamakan Ahlus Sunnah bengis. Dengan sebutan itu mereka menghendaki hilangnya hadits”. [Syarh Ushulu wa i'tiqod, oleh Al Lalika'iy].
Al Imam Abu Utsman Isma'il Ash Shabuniy dalam kitab "Aqidatus Salaf wa Ashabul Hadits" menyebutkan;
- وسمعت الحاكم يقول سمعت أبا الحسين محمد بن أحمد الحنظلي ببغداد يقول ، سمعت [أبا إسماعيل] محمد بن إسماعيل الترمذي يقول : كنت أنا وأحمد بن الحسن الترمذي عند إمام الدين أبي عبد الله أحمد بن حنبل ؛ فقال له أحمد بن الحسن : يا أبا عبد الله ذكروا لابن أبي قتيلة بمكة أصحاب الحديث فقال : أصحاب الحديث قوم سوء فقام أحمد بن حنبل وهو ينفض ثوبه ويقول : زنديق ! زنديق ! [زنديق] : حتى دخل البيت .
164 – Aku (Abu ‘Utsman Ash-Shaabuniy) mendengar Al-Haakim berkata : Aku mendengar Abu Al-Husain Muhammad bin Ahmad Al-Handhaliy berkata di Baghdaad : Aku mendengar [Abu Isma’il] Muhammad bin Isma’il At-Tirmidziy berkata : “Aku dan Ahmad bin Al-Hasan At-Tirmidziy pernah berada di sisi Imaamuddiin Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal. Maka Ahmad bin Al-Hasan berkata kepadanya : ‘Wahai Abu ‘Abdillah, orang-orang pernah menyebut Ahli Hadits di hadapan Ibnu Abi Qutailah. Maka ia (Ibnu Abi Qutailah) berkata : ‘Para Ahli Hadits (Ashhaabul-Hadiits) adalah satu kaun yang jelek (rusak)’. Maka Ahmad bin Hanbal berdiri sambil mengibaskan pakaiannya seraya berkata : ‘Zindiq, zindiq, [zindiq] !’, hingga ia masuk rumah”.
١٦٥ - وسمعت الحاكم أبا عبد الله يقول ، سمعت أبا نصر أحمد بن سهل الفقيه ببخارى يقول ، سمعت أبا نصر بن سلام الفقيه يقول:(ليس شيء أثقل على أهل الإلحاد ، ولا أبغض إليهم من سماع الحديث وروايته بإسناده ).
165 – Aku (Abu ‘Utsman Ash-Shaabuniy) mendengar Al-Haakim Abu ‘Abdillah berkata : Aku mendengar Abu Nashr Ahmad bin Sahl, seorang faqih negeri Bukhara, berkata : Aku mendengar Abu Nashr bin Salaam Al-Faqiih berkata : “Tidak ada satu hal yang lebih berat dan dibenci oleh Ahlul-Ilhaad (pengingkar/atheis/Ahli Bid’ah) daripada mendengarkan hadits dan meriwayatkan dengan sanadnya”.
١٦٦ - وسمعت الحاكم يقول : سمعت الشيخ أبا بكر أحمد بن إسحاق بن أيوب الفقيه – وهو يناظر رجلاً – فقال الشيخ أبو بكر : حدثنا فلان ، فقال له الرجل : دعنا من حدثنا إلى متى حدثنا ؟ فقال الشيخ له : قم يا كافر ، فلا يحل لك أن تدخل داري بعد هذا أبداً. ثم التفت إلينا وقال : ما قلت [قط] لأحد قط ما تدخل داري إلا هذا.
166 – Aku (Abu ‘Utsman Ash-Shaabuniy) mendengar Al-Haakim berkata : Aku mendengar Asy-Syaikh Abu Bakr Ahmad bin Ishaaq bin Ayyuub Al-Faqiih – saat itu ia tengah berdebat dengan seorang laki-laki - . Maka berkatalah Asy-Syaikh Abu Bakr : “Haddatsanaa Fulaan (Telah menceritakan kepada kami Fulan)”. Laki-laki tersebut berkata kepadanya : “Tinggalkan kami dari perkataan haddatsanaa. Sampai kapan kita menyebut haddatsanaa ?”. Syaikh Abu Bakr berkata : “Berdirilah wahai kafir ! Tidak halal bagimu untuk memasuki rumahku setelah ini untuk selamanya”. Kemudian ia (Asy-Syaikh Abu Bakr) menoleh kepada kami dan berkata : “Aku tidak pernah berkata pada seorang pun untuk tidak masuk ke rumahku kecuali pada orang ini”.
6. MEMBERIKAN JULUKAN ATAU GELAR KEPADA AHLUS SUNNAH, DENGAN TUJUAN MERENDAHKAN MEREKA.
Termasuk tanda mereka adalah menggelari Ahlus Sunnah (yang bertolak belakang dengan sifat mereka) dengan tujuan merendahkan mereka.
Abu Hatim ar-Razi berkata:
”Tanda Jahmiah adalah menamakan Ahlus Sunnah musyabbihah (menyerupakan Allah dengan mahluk). Ciri-ciri Qadariah adalah menamakan Ahlus Sunnah mujabbirah (mahluk tidak mempunyai kehendak.) Ciri-ciri Murjiaah adalah menamakan Ahlus Sunnah menyimpang dan mengurangi. Ciri-ciri Rafidhah adalah menamakan Ahlus Sunnah nashibah (mencela Ali). Ahlus Sunnah tidak digabungkan kecuali kepada satu nama dan mustahil nama-nama ini mengumpulkan mereka. [Syarh ushul wa i'tiqod]
Al-Barbahari berkata,
”Dan orang yang tertutup (kejelekannya) adalah yang jelas ia tertutup (kejelekannya) dan orang yang terbuka kejelekannya adalah orang yang jelas aibnya. Bila kamu mendengar seorang mengatakan fulan Nashibi, ketahuilah bahwa ia adalah Rafidly. Bila kamu mendengar seorang mengatakan fulan musyabbihah atau fulan menyerupakan Allah dengan makhluk, ketahuilah bahwa ia adalah Jahmy. Bila kamu mendengar seorang berkata tentang tauhid dan mengatakan,”Terangkan padaku tauhid!”, ketahuilah bahwa ia adalah Kharijy dan Mutazily. Atau mengatakan, fulan Mujabbirah atau mengatakan, dengan ijbar atau berkata dengan adil ketahuilah bahwa ia adalah Qadari karena nam-nama ini bidah yang dibuat-buat oleh ahli bidah”. [Syarhus Sunnah]
Syaikh Ismail as-Shabuni mengatakan,
”Ciri-ciri ahli bidah amat jelas dan terang Sedang tanda-tanda mereka yang paling jelas adalah sangat keras memusuhi para pemilkul hadits, dan menghinakan mereka dan mengelari mereka kaku,bodoh,dhahiri,(tekstual) musyabbihah(golongan yang menyerupakan Allah dengan mahluk). Semua itu didasari keyakinan mereka bahwa hadits-hadts itu masih berupa benda mentah (bukan ilmu). Dan yang dinamakna ilmu adalah ilham yang dijejalkan setan kepada mereka, hasil dari olah akal mereka yang rusak, intuisi hati nurani mereka yang gelap…. [Aqidatus Salaf wa Ashhabul Hadits].
Beliau juga berkata :
“Aku memandang para Ahli Bid’ah dalam penamaan ini yang kemudian mereka gelarkan dengannya kepada Ahlus-Sunnah – [namun dengan karunia dan keutamaan Allah, tidak sedikitpun yang pantas disandarkan kepada mereka] adalah mengikuti jalan kaum musyrikin [semoga Allah melaknat mereka] terhadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mereka membagi-bagi perkataan di dalamnya. Sebagian mereka menamakan beliau dengan tukang sihir, sebagian lagi dengan dukun, sebagian lagi dengan tukang syair, sebagian lagi dengan orang gila, sebagian lagi dengan orang yang terfitnah, sebagian lagi dengan pembual, orang yang mengada-ada, lagi pendusta. Padahal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dan jauh dari segala aib tersebut. Beliau hanyalah seorang Rasul dan Nabi yang terpilih.
Allah ‘azza wa jalla telah berfirman :
انْظُرْ كَيْفَ ضَرَبُوا لَكَ الْأَمْثَالَ فَضَلُّوا فَلَا يَسْتَطِيعُونَ سَبِيلًا
‘Perhatikanlah, bagaimana mereka membuat perbandingan-perbandingan tentang kamu, lalu sesatlah mereka, mereka tidak sanggup (mendapatkan) jalan (untuk menentang kerasulanmu)’ (QS. Al-Furqaan : 9)”.
7. TIDAK BERPEGANG DENGAN MADZHAB SALAF (PARA SHAHABAT)
Syaikhul Islam berkata,
”Kelompok-kelompok bidah yang terkenal di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang tidak menganut madzhab salaf antara lain kelompok: Rafidhah, sampai orang awam tidak mengetahui syiar-syiar bidah kecuali rafdl(menolak kepemimpinan khulafaur rasyidin selain Ali). Dan sunni menurut istilah orang awam adalah orang yang bukan rafidhi ….Sehinga diketahui syiar ahli bidah menolak madzhab Salaf.
Oleh karena itu dalam risalah yang ditujukan kepada Abdus bin Malik, Imam Ahamad berkata;
”Asas sunnah menurut kami adalah berpegang dengan apa yang dijalani sahabat Muhammad…”. [Majmu' fatawa (4 / 155)].
8. MEMVONIS KAFIR ORANG YANG MENYELISIHI MEREKA TANPA DALIL YANG JELAS ATAU SALAH DALAM PENGAMBILAN DALIL
Dalam banyak tempat Syaikhul Islam menyebutkan tentang bantahan terhadap orang yang menvonis orang yang masih belum jelas kekafirannya,”Pendapat ini tidak diketahui dari seorang sahabat, tabiin, yang mengikuti mereka dengan baik dan tidak pula dari salah satu imam tetapi ini termasuk salah satu pokok dari pokok-pokok ahli bidah yang membuat bidah dan menvonis kafir orang yang menyelisihi mereka semisal Khawarij, Mutazilah dan Jahmiah”. [Minhajus Sunnah (5 / 239 - 240)].
Beliau berkata,
”Khawarij,Mutazilah, dan Rafidhah, menvonis kafir Ahlus Sunnah wal Jamaah. Golongan yang belum mereka vonis kafir maka mereka vonis fasik. Demikian juga mayoritas ahlul ahwa menvonis bidah dan kafir golongan yang menyelisihi mereka berdasarkan logika semata. Akan tetapi Ahlus Sunnah adalah golongan yang mengikuti kebenaran dari rab mereka yang dibawa oleh rasul-Nya,tidak menvonis kafir golongan yang menyelisihi mereka. Mereka golongan yang paling tahu tentang kebenaran dan kondisi manusia”.
Syaikh Abdul Lathif bin Abdur Rahman Alu Syaikh ditanya tentang orang yang menvonis kafir sebagian golongan yang menyelisihinya. Beliau menjawab,”Jawabannya, Saya tidak mengetahui sandaran ucapan itu. Berani menvonis kafir golongan lain yang menampakkan keislaman tanpa dasar syari dan keterangan yang akurat menyeilisihi manhaj para pakar ilmu agama dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Jalan ini adalah jalannya ahlul bidah dan orang-orang sesat”. [Majmu'atur Rasa'il, wal Masa'il An Najdiyyah (3 / 20)].
Allahu ‘alam.
Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat.. dan kita dapat mewaspadai BID'AH dan AHLINYA..
disarikan dari kitab:
1. "Mauqif Ahlu Sunnah Wal Jama'ah min Ahlil Bida'", oleh; Syaikh DR. Ibrahim Ar Ruhailiy.
2. "Aqidatus Salaf Wa Ashabul Hadits" oleh; Al Imam Abu Utsman Isma'il Ash Shabuniy
3. "Syarhus Sunnah" oleh; Al Imam Al Barbahariy.
Bid’ah Hasanah, tak seindah namanya
Pendapat yang mengatakan adanya bid’ah hasanah (yang baik) dalam Islam termasuk fitnah dan musibah terbesar dari berbagai macam fitnah dan musibah yang menimpa ummat ini. Bagaimana tidak, perkataan ini pada akhirnya akan menghalalkan semua bentuk bid’ah dalam agama yang pada gilirannya akan merubah syari’at-syari’at agama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah dibakukan tatkala Dia mewafatkan NabiNya Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Yang lebih celaka lagi, fitnah ini telah memakan banyak korban tanpa pandang bulu, mulai dari orang awwam yang tidak paham tentang agama sampai seorang yang dianggap tokoh agama yang telah meraih berbagai macam gelar –baik yang resmi maupun yang tidak- dalam ilmu agama Islam, semuanya berpendapat akan adanya bid’ah yang baik dalam Islam. Maka betapa buruknya nasib umat ini bila orang-orang yang membimbing mereka, yang mereka anggap tokoh agama berpendapat dengan pendapat ‘aneh’ seperti ini, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
A. Dalil-Dalil Tentang Buruk dan Tercelanya Semua Bentuk Bid’ah Tanpa Terkecuali.
Berikut beberapa dalil sam’iy (Al-Kitab dan AS-Sunnah) dan dalil akal yang menunjukkan akan jelek, tercela dan tertolaknya semua bentuk bid’ah :
1. Hadits Jabir riwayat Muslim :
“Dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat”.
2. Hadits ‘Irbadh bin Sariyah :
“Dan hati-hati kalian dari perkara yang diada-adakan karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. (HR. Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`i)
Berkata Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam : “Maka sabda beliau “semua bid’ah adalah kesesatan”, termasuk dari jawami’ul kalim yang tidak ada sesuatupun (bid’ah) yang terkecualikan darinya, dan hadits ini merupakan pokok yang sangat agung dalam agama”.
Dan berkata Al-Imam Asy-Syathiby rahimahullah dalam Al-I’tishom (1/187), “Sesungguhnya dalil-dalil –bersamaan dengan banyaknya jumlahnya- datang secara mutlak dan umum, tidak ada sedikitpun perkecualian padanya selama-lamanya, dan tidaklah datang dalam dalil-dalil tersebut satu lafadzpun yang mengharuskan adanya di antara bid’ah-bid’ah itu yang merupakan petunjuk (hasanah), dan tidak ada dalam dalil-dalil tersebut penyebutan “semua bid’ah adalah kesesatan kecuali bid’ah ini, bid’ah ini, …”, dan tidak ada sedikitpun dari dalil-dalil tersebut yang menunjukan akan makna-makna ini (pengecualian)”.
3. Hadits ‘A`isyah radhiallahu ‘anha:
“Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah)
Berkata Imam Asy-Syaukany dalam Nailul Author (2/69) : “Hadits ini termasuk dari kaidah-kaidah agama karena masuk didalamnya hukum-hukum tanpa ada pengecualian. Betapa jelas dan betapa menunjukkan akan batilnya pendapat sebagian fuqoha` (para ahli fiqhi) yang membagi bid’ah menjadi beberapa jenis dan mengkhususkan tertolaknya bid’ah hanya pada sebagian bentuknya tanpa ada dalil naql (Al-Kitab dan As-Sunnah) yang mengkhususkannya dan tidak pula dalil akal”.
4. Ijma’ para ulama Salaf dari kalangan Shahabat, tabi’in dan para pengikut mereka dengan baik akan tercela dan jeleknya semua bid’ah serta wajibnya memperingatkan kaum muslimin darinya dan dari para pelakunya.
B. Penyebutan Syubhat-Syubhat Orang Yang Berpendapat Akan Adanya Bid’ah Hasanah Dalam Islam Beserta Bantahannya.
Di sini saya akan menyebutkan tujuh syubhat terbesar yang biasa di gembar-gemborkan oleh orang-orang yang menyatakan adanya bid’ah hasanah dalam Islam, yang hakikat dari semua syubhat mereka adalah lebih lemah dari sarang laba-laba karena syubhat-syubhat ini tidak lepas dari dua keadaan: Apakah dalilnya shohih tapi salah memahami ataukah sekedar perkataan para ulama yang telah diketahui bersama bahwa perkataan mereka bukanlah hujjah ketika menyelisihi dalil. Berikut penyebutan syubhat-syubhat mereka :
1. Surah Al-Hadid ayat 27 :
“Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya”.
Bantahan :
FirmanNya “tetapi untuk mencari keridhaan Allah” ada dua kemungkinan :
1. Bila kembalinya kepada firmanNya “Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah”, maka ini berarti celaan buat mereka karena mereka berbuat bid’ah dan memunculkan suatu peribadatan yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka, kemudian bersamaan dengan itu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.
2. Bila kembalinya kepada firmanNya “padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka”, maka menunjukkan bahwa mereka memunculkan suatu peribadatan baru yang disetujui oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka. Akan tetapi ayat ini bercerita tentang syari’at umat sebelum kita (Nashara) dan syari’at umat sebelum kita –menurut pendapat yang paling kuat- bukanlah menjadi syari’at kita jika bertentangan dengan dalil yang datang dalam syari’at kita. Dan telah berlalu dalil-dalil yang sangat banyak akan larangan dan ancaman berbuat bid’ah dalam agama kita dan bahwa semua bentuk bid’ah adalah tertolak.
2. Hadits Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajaly radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda :
“Barangsiapa yang membuat sunnah dalam Islam sunnah yang baik maka baginya pahalanya dan pahala semua orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi dari pahala mereka sedikitpun, dan barangsiapa yang membuat sunnah dalam Islam sunnah yang jelek maka atasnya dosanya dan dosa semua orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)
Dari hadits di atas mereka mengeluarkan pendalilan, kalau begitu bid’ah –sebagaimana sunnah- juga terbagi menjadi dua ; ada yang baik dan ada yang jelek.
Bantahan:
1. Sesungguhnya makna sabda beliau “Barangsiapa yang membuat sunnah” adalah “barangsiapa yang mengamalkan sunnah” bukan maknanya “barangsiapa yang membuat syari’at (sunnah) yang baru”, hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh sababul wurud (sebab terucapkannya) hadits ini dalam riwayat Muslim (no. 1017), yang ringkasnya : Bahwa sekelompok orang dari Bani Mudhor datang ke Medinah dan nampak dari kondisi mereka kemiskinan dan kesusahan, lalu Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam memberikan motovasi kepada para shahabat untuk bersedekah. Maka datanglah seorang lelaki dari Al-Anshor dengan membawa makanan yang hampir-hampir tangannya tidak mampu untuk mengangkatnya, setelah itu beruntunlah para shahabat yang lain mengikutinya juga untuk memberikan sedekah lalu beliaupun mengucapkan hadits di atas.
Maka dari kisah ini jelas menunjukkan bahwa yang diinginkan dalam hadits adalah “Barangsiapa yang beramal dengan amalan yang tsabit dari sunnah Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam …”, karena sedekah bukanlah perkara bid’ah akan tetapi sunnah dari sunnah beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
2. Beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam mensifati “sunnah” dalam hadits ini dengan “yang baik” dan “yang jelek”, dan sifat seperti ini (baik dan jelek) tidak mungkin diketahui kecuali dari sisi syari’at. Maka hal ini mengharuskan bahwa kata “sunnah” dalam hadits maksudnya adalah amalan yang punya asal dari sisi syari’at, apakah baik ataupun buruk, sedangkan bid’ah adalah amalan yang sama sekali tidak memiliki asal dalam syari’at.
3. Tidak dinukil dari seorangpun dari kalangan para ulama Salaf yang menafsirkan sunnah yang hasanah dalam hadits ini adalah bid’ah yang dimunculkan oleh manusia.
3. Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam –menurut sangkaan mereka- bersabda :
“Maka perkara apa saja yang kaum muslimin menganggapnya baik maka itu juga baik di sisi Allah dan perkara apa saja yang mereka anggap jelek maka itu jelek di sisi Allah”.
Mereka mengatakan : “Maka bila suatu bid’ah dianggap baik oleh kaum muslimin di zaman ini maka berarti bid’ah itu baik juga di sisi Allah”.
Bantahan:
1. Hadits ini tidak shohih secara marfu’ dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, akan tetapi yang benarnya ini adalah mauquf dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Berikut perkataan sebagian ulama tentang hal ini :
· Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitab Al-Farusiah (hal. 167) : “Sesungguhnya atsar ini bukan dari sabda Rasullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, dan tidak ada seorangpun yang menjadikan perkataan ini sebagai sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam kecuali orang yang tidak memiliki ilmu tentang hadits, yang benarnya perkataan ini hanya tsabit dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu”.
· Berkata Ibnu ‘Abdil Hadi sebagaimana dalam Kasyful Khofa` (2/245) : “Diriwayatkan secara marfu’ dari hadits Anas dengan sanad yang saqit (jatuh/sangat lemah) dan yang benarnya ini adalah mauquf dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu”.
2. Yang diinginkan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu dengan perkataan beliau “kaum muslimin” dalam hadits ini adalah mereka para sahabat radhiallahu ‘anhum, karena “Al” dalam kata “al-muslimun” hadits ini bermakna lil ‘ahd adz-dzihni (yang langsung terpahami oleh fikiran ketika membaca hadits ini), sehingga makna haditsnya adalah “Perkara apa saja yang kaum muslimin yang ada di zaman itu …”. Hal ini ditunjukkan oleh potongan awal hadits ini :
“Sesungguhnya Allah melihat ke hati para hambaNya dan Dia mendapati hati Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam adalah sebaik-baik di antara hati-hati para hamba maka Diapun memilihnya untuk diriNya dan mengutusnya dengan risalahNya. Kemudian Allah melihat lagi ke hati para hamba setelah hati Muhammad dan Dia mendapati hati para shahabat adalah sebaik-baik hati para hamba maka Diapun menjadikan mereka sebagai pembantu-pembantu NabiNya yang mereka itu berperang dalam agamaNya. Maka apa-apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin maka hal itu baik di sisi Allah dan apa-apa yang jelek menurut kaum muslimin maka hal itu jelek di sisi Allah”.
Ini menunjukkan bahwa kaum muslimin yang diinginkan di akhir hadits adalah mereka yang disebutkan di awal hadits.
3. Bagaimana bisa mereka berdalil dengan perkataan shahabat yang mulia ini untuk menganggap suatu bid’ah, padahal beliau radhiallahu ‘anhu adalah termasuk dari para shahabat yang paling keras melarang dan mentahdzir dari semua bentuk bid’ah?!, dan telah berlalu sebagian dari perkataan beliau radhiallahu ‘anhu.
4. Kalau hadits ini diterima dan maknanya seperti apa yang hawa nafsu kalian inginkan, maka ini akan membuka pintu yang sangat berbahaya untuk berubahnya agama. Karena setiap pelaku bid’ah akan bersegera membuat bid’ah yang bentuknya disukai dan sesuai dengan selera manusia, dan ketika dilarang diapun berdalilkan dengan hadits di atas, Wallahul musta’an.
4. Dalil mereka selanjutnya adalah perkataan ‘Umar bin Khoththob radhiallahu ‘anhu yang masyhur tentang sholat Tarwih secara berjama’ah di malam bulan Ramadhan :
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. (HR. Al-Bukhari)
Mereka berkata : “Kalau begitu ada bid’ah yang baik dalam Islam”.
Bantahan:
1. Perbuatan ‘Umar radhiallahu ‘anhu dengan cara mengumpulkan manusia untuk melaksanakan Tarwih dengan dipimpin oleh imam bukanlah bid’ah, akan tetapi sebagai bentuk menampakkan dan menghidupkan sunnah. Karena Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah melaksanakan Tarwih ini dengan mengimami manusia pada malam 23, 25 dan 27 Ramadhan, tapi tatkala banyak manusia yang ikut sholat di belakang beliau, beliaupun meninggalkan pelaksanaannya karena takut turun wahyu yang mewajibkan sholat Tarwih sehingga akan menyusahkan umatnya sebagaimana yang disebutkan kisahnya oleh Imam Al-Buhkari dalam Shohihnya (no. 1129). Maka tatkala Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam wafat dan hilang kemungkinan sholat Tarwih menjadi wajib dengan terputusnya wahyu sehingga sholat Tarwih ini tetap pada hukum asalnya yaitu sunnah, maka ‘Umar radhiallahu ‘anhu lalu mengumpulkan manusia untuk melaksanakan sholat Tarwih secara berjama’ah.
2. Sesungguhnya ‘Umar radhiallahu ‘anhu tidak memaksudkan dengan perkataan beliau ini akan adanya bid’ah yang baik, karena yang beliau inginkan dengan “bid’ah” di sini adalah makna secara bahasa bukan makna secara syari’at, dan ini beliau katakan karena melihat keadaan zhohir dari sholat tarwih tersebut yaitu Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam meninggalkan pelaksanaan sholat tarwih setelah sebelumnya beliau melaksanakannya karena takut akan diwajibkannya sholat Tarwih ini atas umatnya.
Kalau ada yang bertanya : “Kalau memang beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tinggalkan karena takut diwajibkan, lantas kenapa Abu Bakar radhiallahu ‘anhu tidak melakukan apa yang dilakukan ‘Umar radhiallahu ‘anhu, padahal kemungkinan jadi wajibnya sholat Tarwih juga telah terputus di zaman Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dengan wafatnya Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam?”.
Maka kami jawab : “Tidak adanya pelaksanaan Tarwih berjama’ah di zaman Abu Bakar radhiallahu ‘anhu tidak keluar dari dua alasan berikut :
a. Karena beliau radhiallahu ‘anhu berpendapat bahwa sholatnya manusia di akhir malam dengan keadaan mereka ketika itu lebih afdhol daripada mengumpulkan mereka di belakang satu imam (berjama’ah) di awal malam, ini disebutkan oleh Imam Ath-Thurthusy rahimahullah.
b. Karena sempitnya masa pemerintahan beliau (hanya 2 tahun) untuk melihat kepada perkara furu’ (cabang) seperti ini, bersamaan sibuknya beliau mengurus masalah banyaknya orang yang murtad dan ingin menyerang Medinah ketika Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam wafat dan masalah-masalah yang lain yang lebih penting dan lebih darurat dilaksanakan dibandingkan sholat tarwih, ini disebutkan oleh Asy-Syathiby rahimahullah.
Maka tatkala sholat Tarwih berjama’ah satu bulan penuh tidak pernah dilakukan di zaman Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, tidak pula di zaman Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dan tidak pula di awal pemerintahan ‘Umar radhiallahu ‘anhu, maka sholat Tarwih dengan model seperti ini (berjama’ah satu bulan penuh) dianggap bid’ah tapi dari sisi bahasa, yakni tidak ada contoh yang mendahuluinya. Adapun kalau dikatakan bid’ah secara syari’at maka tidak, karena sholat Tarwih dengan model seperti ini mempunyai asal landasan dalam syari’at yaitu beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam pernah sholat Tarwih secara berjama’ah pada malam 23, 25 dan 27 Ramadhan, dan beliau meninggalkannya hanya karena takut akan diwajibkan atas umatnya, bukan karena alasan yang lain, Wallahu a’lam.
· Berkata Imam Asy-Syathiby dalam Al-I’tishom (1/250) : “Maka siapa yang menamakannya (sholat Tarwih berjama’ah satu bulan penuh) sebagai bid’ah karena dilihat dari sisi ini (yakni tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam walaupun memiliki asal dalam syari’at) maka tidak ada paksaan dalam masalah penamaan. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, maka tidak boleh berdalilkan dengannya (perkataan ‘Umar ini) akan bolehnya berbuat bid’ah dengan makna versi sang pembicara (yakni ‘Umar radhiallahu ‘anhu), karena ini adalah suatu bentuk pemalingan makna perkataan dari tempat sebenarnya”.
· Berkata Syaikhul Islam rahimahullah dalam Al-Iqthidho` Ash-Shirothol Mustaqim (hal. 276 –Darul Fikr) : “Dan yang paling banyak (didengang-dengungkan) dalam masalah ini adalah kisah penamaan ‘Umar radhiallahu ‘anhu terhadap sholat Tarwih bahwa itu adalah bid’ah bersamaan dengan baiknya amalan tersebut. Ini adalah penamaan secara bahasa bukan penamaan secara syari’at, hal itu dikarenakan bid’ah secara bahasa adalah mencakup semua perkara yang diperbuat pertama kali dan tidak ada contoh yang mendahuluinya sedangkan bid’ah secara syari’at adalah semua amalan yang tidak ditunjukkan oleh dalil syar’iy.
Maka jika Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam memberikan pernyataan yang beliau telah menunjukkan akan sunnahnya atau wajibnya suatu amalan setelah wafatnya beliau atau ada dalil yang menunjukkannya secara mutlak dan amalan tersebut tidak pernah diamalkan kecuali setelah wafatnya beliau, seperti pengadaan buku sedekah yang dikeluarkan oleh Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, maka jika seseorang mengamalkan amalan tersebut setelah wafatnya beliau maka syah kalau dikatakan bid’ah tapi secara bahasa karena itu adalah amalan yang belum pernah dilakukan”.
3. Sesungguhnya para shahabat Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan para ulama salaf setelah mereka telah bersepakat menerima dan mengamalkan apa yang dilakukan oleh ‘Umar radhiallahu ‘anhu dan tidak pernah dinukil dari seorangpun di antara mereka ada yang menyelisihinya. Ini artinya perbuatan beliau adalah kebenaran dan termasuk syari’at, karena Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah menegaskan :
“Ummatku tidak akan bersepakat di atas suatu kesesatan”. (HR. At-Tirmizi)
Dan masih ada beberapa dalil yang lain yang tidak kami sebutkan di sini karena dalil-dalil tersebut hanyalah berupa perkataan dan ijtihad seorang ulama, yang kalaupun dianggap bahwa para ulama tersebut menyatakan seperti apa yang mereka katakan berupa adanya bid’ah yang baik dalam Islam, maka ucapan dan ijtihad mereka harus dibuang jauh-jauh karena menyelisihi hadits-hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, wallahu A’lam.
Kesimpulan dari masalah ini adalah bahwa setiap perkara yang dianggap oleh sebagian ulama ataupun orang-orang yang jahil bahwa itu adalah bid’ah hasanah maka perkara tersebut tidak lepas dari dua keadaan :
1. Perkara itu bukanlah suatu bid’ah akan tetapi disangka bid’ah.
2. Perkara itu adalah bid’ah dan kesesatan akan tetapi dia tidak mengetahui akan kesesatan dan kejelekannya.
{Lihat : Al-Luma’ fir Roddi ‘ala Muhassinil Bida’ (hal. 8-54), Al-I’tishom (1/187-188 dan 228-270), Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah (1/106-117), Iqthidho` Ash-Shirothol Mustaqim (hal. 270-278), Al-Hatstsu ‘ala Ittiba’is Sunnah (hal. 42-44), dan Tuhfatul Murid Syarh Al-Qaulul Mufid (hal. 133-142)}
[Diringkas dari buku Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi bab ketiga, karya Abu Muawiah Hammad -hafizhahullah-]
A. Dalil-Dalil Tentang Buruk dan Tercelanya Semua Bentuk Bid’ah Tanpa Terkecuali.
Berikut beberapa dalil sam’iy (Al-Kitab dan AS-Sunnah) dan dalil akal yang menunjukkan akan jelek, tercela dan tertolaknya semua bentuk bid’ah :
1. Hadits Jabir riwayat Muslim :
“Dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat”.
2. Hadits ‘Irbadh bin Sariyah :
“Dan hati-hati kalian dari perkara yang diada-adakan karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. (HR. Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`i)
Berkata Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam : “Maka sabda beliau “semua bid’ah adalah kesesatan”, termasuk dari jawami’ul kalim yang tidak ada sesuatupun (bid’ah) yang terkecualikan darinya, dan hadits ini merupakan pokok yang sangat agung dalam agama”.
Dan berkata Al-Imam Asy-Syathiby rahimahullah dalam Al-I’tishom (1/187), “Sesungguhnya dalil-dalil –bersamaan dengan banyaknya jumlahnya- datang secara mutlak dan umum, tidak ada sedikitpun perkecualian padanya selama-lamanya, dan tidaklah datang dalam dalil-dalil tersebut satu lafadzpun yang mengharuskan adanya di antara bid’ah-bid’ah itu yang merupakan petunjuk (hasanah), dan tidak ada dalam dalil-dalil tersebut penyebutan “semua bid’ah adalah kesesatan kecuali bid’ah ini, bid’ah ini, …”, dan tidak ada sedikitpun dari dalil-dalil tersebut yang menunjukan akan makna-makna ini (pengecualian)”.
3. Hadits ‘A`isyah radhiallahu ‘anha:
“Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah)
Berkata Imam Asy-Syaukany dalam Nailul Author (2/69) : “Hadits ini termasuk dari kaidah-kaidah agama karena masuk didalamnya hukum-hukum tanpa ada pengecualian. Betapa jelas dan betapa menunjukkan akan batilnya pendapat sebagian fuqoha` (para ahli fiqhi) yang membagi bid’ah menjadi beberapa jenis dan mengkhususkan tertolaknya bid’ah hanya pada sebagian bentuknya tanpa ada dalil naql (Al-Kitab dan As-Sunnah) yang mengkhususkannya dan tidak pula dalil akal”.
4. Ijma’ para ulama Salaf dari kalangan Shahabat, tabi’in dan para pengikut mereka dengan baik akan tercela dan jeleknya semua bid’ah serta wajibnya memperingatkan kaum muslimin darinya dan dari para pelakunya.
B. Penyebutan Syubhat-Syubhat Orang Yang Berpendapat Akan Adanya Bid’ah Hasanah Dalam Islam Beserta Bantahannya.
Di sini saya akan menyebutkan tujuh syubhat terbesar yang biasa di gembar-gemborkan oleh orang-orang yang menyatakan adanya bid’ah hasanah dalam Islam, yang hakikat dari semua syubhat mereka adalah lebih lemah dari sarang laba-laba karena syubhat-syubhat ini tidak lepas dari dua keadaan: Apakah dalilnya shohih tapi salah memahami ataukah sekedar perkataan para ulama yang telah diketahui bersama bahwa perkataan mereka bukanlah hujjah ketika menyelisihi dalil. Berikut penyebutan syubhat-syubhat mereka :
1. Surah Al-Hadid ayat 27 :
“Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya”.
Bantahan :
FirmanNya “tetapi untuk mencari keridhaan Allah” ada dua kemungkinan :
1. Bila kembalinya kepada firmanNya “Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah”, maka ini berarti celaan buat mereka karena mereka berbuat bid’ah dan memunculkan suatu peribadatan yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka, kemudian bersamaan dengan itu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.
2. Bila kembalinya kepada firmanNya “padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka”, maka menunjukkan bahwa mereka memunculkan suatu peribadatan baru yang disetujui oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka. Akan tetapi ayat ini bercerita tentang syari’at umat sebelum kita (Nashara) dan syari’at umat sebelum kita –menurut pendapat yang paling kuat- bukanlah menjadi syari’at kita jika bertentangan dengan dalil yang datang dalam syari’at kita. Dan telah berlalu dalil-dalil yang sangat banyak akan larangan dan ancaman berbuat bid’ah dalam agama kita dan bahwa semua bentuk bid’ah adalah tertolak.
2. Hadits Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajaly radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda :
“Barangsiapa yang membuat sunnah dalam Islam sunnah yang baik maka baginya pahalanya dan pahala semua orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi dari pahala mereka sedikitpun, dan barangsiapa yang membuat sunnah dalam Islam sunnah yang jelek maka atasnya dosanya dan dosa semua orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)
Dari hadits di atas mereka mengeluarkan pendalilan, kalau begitu bid’ah –sebagaimana sunnah- juga terbagi menjadi dua ; ada yang baik dan ada yang jelek.
Bantahan:
1. Sesungguhnya makna sabda beliau “Barangsiapa yang membuat sunnah” adalah “barangsiapa yang mengamalkan sunnah” bukan maknanya “barangsiapa yang membuat syari’at (sunnah) yang baru”, hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh sababul wurud (sebab terucapkannya) hadits ini dalam riwayat Muslim (no. 1017), yang ringkasnya : Bahwa sekelompok orang dari Bani Mudhor datang ke Medinah dan nampak dari kondisi mereka kemiskinan dan kesusahan, lalu Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam memberikan motovasi kepada para shahabat untuk bersedekah. Maka datanglah seorang lelaki dari Al-Anshor dengan membawa makanan yang hampir-hampir tangannya tidak mampu untuk mengangkatnya, setelah itu beruntunlah para shahabat yang lain mengikutinya juga untuk memberikan sedekah lalu beliaupun mengucapkan hadits di atas.
Maka dari kisah ini jelas menunjukkan bahwa yang diinginkan dalam hadits adalah “Barangsiapa yang beramal dengan amalan yang tsabit dari sunnah Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam …”, karena sedekah bukanlah perkara bid’ah akan tetapi sunnah dari sunnah beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
2. Beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam mensifati “sunnah” dalam hadits ini dengan “yang baik” dan “yang jelek”, dan sifat seperti ini (baik dan jelek) tidak mungkin diketahui kecuali dari sisi syari’at. Maka hal ini mengharuskan bahwa kata “sunnah” dalam hadits maksudnya adalah amalan yang punya asal dari sisi syari’at, apakah baik ataupun buruk, sedangkan bid’ah adalah amalan yang sama sekali tidak memiliki asal dalam syari’at.
3. Tidak dinukil dari seorangpun dari kalangan para ulama Salaf yang menafsirkan sunnah yang hasanah dalam hadits ini adalah bid’ah yang dimunculkan oleh manusia.
3. Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam –menurut sangkaan mereka- bersabda :
“Maka perkara apa saja yang kaum muslimin menganggapnya baik maka itu juga baik di sisi Allah dan perkara apa saja yang mereka anggap jelek maka itu jelek di sisi Allah”.
Mereka mengatakan : “Maka bila suatu bid’ah dianggap baik oleh kaum muslimin di zaman ini maka berarti bid’ah itu baik juga di sisi Allah”.
Bantahan:
1. Hadits ini tidak shohih secara marfu’ dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, akan tetapi yang benarnya ini adalah mauquf dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Berikut perkataan sebagian ulama tentang hal ini :
· Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitab Al-Farusiah (hal. 167) : “Sesungguhnya atsar ini bukan dari sabda Rasullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, dan tidak ada seorangpun yang menjadikan perkataan ini sebagai sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam kecuali orang yang tidak memiliki ilmu tentang hadits, yang benarnya perkataan ini hanya tsabit dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu”.
· Berkata Ibnu ‘Abdil Hadi sebagaimana dalam Kasyful Khofa` (2/245) : “Diriwayatkan secara marfu’ dari hadits Anas dengan sanad yang saqit (jatuh/sangat lemah) dan yang benarnya ini adalah mauquf dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu”.
2. Yang diinginkan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu dengan perkataan beliau “kaum muslimin” dalam hadits ini adalah mereka para sahabat radhiallahu ‘anhum, karena “Al” dalam kata “al-muslimun” hadits ini bermakna lil ‘ahd adz-dzihni (yang langsung terpahami oleh fikiran ketika membaca hadits ini), sehingga makna haditsnya adalah “Perkara apa saja yang kaum muslimin yang ada di zaman itu …”. Hal ini ditunjukkan oleh potongan awal hadits ini :
“Sesungguhnya Allah melihat ke hati para hambaNya dan Dia mendapati hati Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam adalah sebaik-baik di antara hati-hati para hamba maka Diapun memilihnya untuk diriNya dan mengutusnya dengan risalahNya. Kemudian Allah melihat lagi ke hati para hamba setelah hati Muhammad dan Dia mendapati hati para shahabat adalah sebaik-baik hati para hamba maka Diapun menjadikan mereka sebagai pembantu-pembantu NabiNya yang mereka itu berperang dalam agamaNya. Maka apa-apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin maka hal itu baik di sisi Allah dan apa-apa yang jelek menurut kaum muslimin maka hal itu jelek di sisi Allah”.
Ini menunjukkan bahwa kaum muslimin yang diinginkan di akhir hadits adalah mereka yang disebutkan di awal hadits.
3. Bagaimana bisa mereka berdalil dengan perkataan shahabat yang mulia ini untuk menganggap suatu bid’ah, padahal beliau radhiallahu ‘anhu adalah termasuk dari para shahabat yang paling keras melarang dan mentahdzir dari semua bentuk bid’ah?!, dan telah berlalu sebagian dari perkataan beliau radhiallahu ‘anhu.
4. Kalau hadits ini diterima dan maknanya seperti apa yang hawa nafsu kalian inginkan, maka ini akan membuka pintu yang sangat berbahaya untuk berubahnya agama. Karena setiap pelaku bid’ah akan bersegera membuat bid’ah yang bentuknya disukai dan sesuai dengan selera manusia, dan ketika dilarang diapun berdalilkan dengan hadits di atas, Wallahul musta’an.
4. Dalil mereka selanjutnya adalah perkataan ‘Umar bin Khoththob radhiallahu ‘anhu yang masyhur tentang sholat Tarwih secara berjama’ah di malam bulan Ramadhan :
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. (HR. Al-Bukhari)
Mereka berkata : “Kalau begitu ada bid’ah yang baik dalam Islam”.
Bantahan:
1. Perbuatan ‘Umar radhiallahu ‘anhu dengan cara mengumpulkan manusia untuk melaksanakan Tarwih dengan dipimpin oleh imam bukanlah bid’ah, akan tetapi sebagai bentuk menampakkan dan menghidupkan sunnah. Karena Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah melaksanakan Tarwih ini dengan mengimami manusia pada malam 23, 25 dan 27 Ramadhan, tapi tatkala banyak manusia yang ikut sholat di belakang beliau, beliaupun meninggalkan pelaksanaannya karena takut turun wahyu yang mewajibkan sholat Tarwih sehingga akan menyusahkan umatnya sebagaimana yang disebutkan kisahnya oleh Imam Al-Buhkari dalam Shohihnya (no. 1129). Maka tatkala Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam wafat dan hilang kemungkinan sholat Tarwih menjadi wajib dengan terputusnya wahyu sehingga sholat Tarwih ini tetap pada hukum asalnya yaitu sunnah, maka ‘Umar radhiallahu ‘anhu lalu mengumpulkan manusia untuk melaksanakan sholat Tarwih secara berjama’ah.
2. Sesungguhnya ‘Umar radhiallahu ‘anhu tidak memaksudkan dengan perkataan beliau ini akan adanya bid’ah yang baik, karena yang beliau inginkan dengan “bid’ah” di sini adalah makna secara bahasa bukan makna secara syari’at, dan ini beliau katakan karena melihat keadaan zhohir dari sholat tarwih tersebut yaitu Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam meninggalkan pelaksanaan sholat tarwih setelah sebelumnya beliau melaksanakannya karena takut akan diwajibkannya sholat Tarwih ini atas umatnya.
Kalau ada yang bertanya : “Kalau memang beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tinggalkan karena takut diwajibkan, lantas kenapa Abu Bakar radhiallahu ‘anhu tidak melakukan apa yang dilakukan ‘Umar radhiallahu ‘anhu, padahal kemungkinan jadi wajibnya sholat Tarwih juga telah terputus di zaman Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dengan wafatnya Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam?”.
Maka kami jawab : “Tidak adanya pelaksanaan Tarwih berjama’ah di zaman Abu Bakar radhiallahu ‘anhu tidak keluar dari dua alasan berikut :
a. Karena beliau radhiallahu ‘anhu berpendapat bahwa sholatnya manusia di akhir malam dengan keadaan mereka ketika itu lebih afdhol daripada mengumpulkan mereka di belakang satu imam (berjama’ah) di awal malam, ini disebutkan oleh Imam Ath-Thurthusy rahimahullah.
b. Karena sempitnya masa pemerintahan beliau (hanya 2 tahun) untuk melihat kepada perkara furu’ (cabang) seperti ini, bersamaan sibuknya beliau mengurus masalah banyaknya orang yang murtad dan ingin menyerang Medinah ketika Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam wafat dan masalah-masalah yang lain yang lebih penting dan lebih darurat dilaksanakan dibandingkan sholat tarwih, ini disebutkan oleh Asy-Syathiby rahimahullah.
Maka tatkala sholat Tarwih berjama’ah satu bulan penuh tidak pernah dilakukan di zaman Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, tidak pula di zaman Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dan tidak pula di awal pemerintahan ‘Umar radhiallahu ‘anhu, maka sholat Tarwih dengan model seperti ini (berjama’ah satu bulan penuh) dianggap bid’ah tapi dari sisi bahasa, yakni tidak ada contoh yang mendahuluinya. Adapun kalau dikatakan bid’ah secara syari’at maka tidak, karena sholat Tarwih dengan model seperti ini mempunyai asal landasan dalam syari’at yaitu beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam pernah sholat Tarwih secara berjama’ah pada malam 23, 25 dan 27 Ramadhan, dan beliau meninggalkannya hanya karena takut akan diwajibkan atas umatnya, bukan karena alasan yang lain, Wallahu a’lam.
· Berkata Imam Asy-Syathiby dalam Al-I’tishom (1/250) : “Maka siapa yang menamakannya (sholat Tarwih berjama’ah satu bulan penuh) sebagai bid’ah karena dilihat dari sisi ini (yakni tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam walaupun memiliki asal dalam syari’at) maka tidak ada paksaan dalam masalah penamaan. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, maka tidak boleh berdalilkan dengannya (perkataan ‘Umar ini) akan bolehnya berbuat bid’ah dengan makna versi sang pembicara (yakni ‘Umar radhiallahu ‘anhu), karena ini adalah suatu bentuk pemalingan makna perkataan dari tempat sebenarnya”.
· Berkata Syaikhul Islam rahimahullah dalam Al-Iqthidho` Ash-Shirothol Mustaqim (hal. 276 –Darul Fikr) : “Dan yang paling banyak (didengang-dengungkan) dalam masalah ini adalah kisah penamaan ‘Umar radhiallahu ‘anhu terhadap sholat Tarwih bahwa itu adalah bid’ah bersamaan dengan baiknya amalan tersebut. Ini adalah penamaan secara bahasa bukan penamaan secara syari’at, hal itu dikarenakan bid’ah secara bahasa adalah mencakup semua perkara yang diperbuat pertama kali dan tidak ada contoh yang mendahuluinya sedangkan bid’ah secara syari’at adalah semua amalan yang tidak ditunjukkan oleh dalil syar’iy.
Maka jika Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam memberikan pernyataan yang beliau telah menunjukkan akan sunnahnya atau wajibnya suatu amalan setelah wafatnya beliau atau ada dalil yang menunjukkannya secara mutlak dan amalan tersebut tidak pernah diamalkan kecuali setelah wafatnya beliau, seperti pengadaan buku sedekah yang dikeluarkan oleh Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, maka jika seseorang mengamalkan amalan tersebut setelah wafatnya beliau maka syah kalau dikatakan bid’ah tapi secara bahasa karena itu adalah amalan yang belum pernah dilakukan”.
3. Sesungguhnya para shahabat Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan para ulama salaf setelah mereka telah bersepakat menerima dan mengamalkan apa yang dilakukan oleh ‘Umar radhiallahu ‘anhu dan tidak pernah dinukil dari seorangpun di antara mereka ada yang menyelisihinya. Ini artinya perbuatan beliau adalah kebenaran dan termasuk syari’at, karena Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah menegaskan :
“Ummatku tidak akan bersepakat di atas suatu kesesatan”. (HR. At-Tirmizi)
Dan masih ada beberapa dalil yang lain yang tidak kami sebutkan di sini karena dalil-dalil tersebut hanyalah berupa perkataan dan ijtihad seorang ulama, yang kalaupun dianggap bahwa para ulama tersebut menyatakan seperti apa yang mereka katakan berupa adanya bid’ah yang baik dalam Islam, maka ucapan dan ijtihad mereka harus dibuang jauh-jauh karena menyelisihi hadits-hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, wallahu A’lam.
Kesimpulan dari masalah ini adalah bahwa setiap perkara yang dianggap oleh sebagian ulama ataupun orang-orang yang jahil bahwa itu adalah bid’ah hasanah maka perkara tersebut tidak lepas dari dua keadaan :
1. Perkara itu bukanlah suatu bid’ah akan tetapi disangka bid’ah.
2. Perkara itu adalah bid’ah dan kesesatan akan tetapi dia tidak mengetahui akan kesesatan dan kejelekannya.
{Lihat : Al-Luma’ fir Roddi ‘ala Muhassinil Bida’ (hal. 8-54), Al-I’tishom (1/187-188 dan 228-270), Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah (1/106-117), Iqthidho` Ash-Shirothol Mustaqim (hal. 270-278), Al-Hatstsu ‘ala Ittiba’is Sunnah (hal. 42-44), dan Tuhfatul Murid Syarh Al-Qaulul Mufid (hal. 133-142)}
[Diringkas dari buku Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi bab ketiga, karya Abu Muawiah Hammad -hafizhahullah-]
Langganan:
Komentar (Atom)


